Oleh Prof. Henri Subiakto
Guru Besar FISIP Universitas Airlangga dan Dewan Pakar Serikat Media Siber Indonesia
Presiden Prabowo Subianto tengah menyiapkan agenda besar reformasi Kepolisian RI (Polri), sebagai jawaban atas desakan publik pasca-gelombang demonstrasi besar pada Agustus 2025. Sebagai langkah awal, pada 17 September 2025, Prabowo menunjuk Komjen Pol (Purn) Ahmad Dofiri sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Kamtibmas dan Reformasi Kepolisian.
Penunjukan Dofiri bukan sekadar formalitas. Mantan Wakapolri yang dikenal tegas—termasuk saat menangani kasus Ferdy Sambo—terlebih dahulu dianugerahi pangkat Jenderal Polisi Kehormatan (bintang empat). Bersamaan dengan itu, Presiden juga menyiapkan Komite Reformasi Kepolisian yang melibatkan sejumlah tokoh nasional, termasuk mantan Menko Polhukam Mahfud MD, guna melakukan evaluasi menyeluruh terhadap Polri.
Namun, pada hari yang sama, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo merespons cepat dengan menerbitkan Surat Perintah pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri. Tim beranggotakan 52 perwira itu dipimpin Komjen Chryshnanda Dwilaksana, dengan Listyo sendiri sebagai pelindung dan Wakapolri sebagai penasihat.
Langkah kilat Kapolri memunculkan interpretasi beragam. Di satu sisi, tim internal bisa dianggap sebagai tanda kesiapan Polri untuk melakukan pembenahan dari dalam dan terbuka terhadap masukan eksternal. Namun di sisi lain, pembentukan tim besar ini juga dibaca sebagai manuver defensif untuk menjaga struktur kepemimpinan dan hierarki Polri dari kemungkinan rekomendasi radikal yang mungkin muncul dari tim bentukan presiden.
Sinyal Politik dari Istana
Penunjukan Ahmad Dofiri menjadi pesan politik yang kuat. Lulusan Adhi Makayasa Akpol 1989 itu dikenal memiliki integritas dan rekam jejak bersih, sekaligus bukan bagian dari lingkaran dekat Jenderal Listyo. Kenaikan pangkat kehormatan sebelum dilantik menegaskan bahwa Prabowo ingin mengendalikan agenda reformasi Polri langsung dari Istana, sekaligus memperkuat citranya sebagai pemimpin tegas yang berani “membersihkan” warisan kepemimpinan era Presiden Jokowi.
Di sisi lain, langkah cepat Kapolri membentuk tim internal memperlihatkan dinamika kekuasaan yang menarik. Meski secara terbuka menyatakan dukungan terhadap kebijakan Presiden, pembentukan tim internal dapat dimaknai sebagai upaya melindungi posisi Kapolri dan jaringan perwira yang sudah lama dibina selama kepemimpinannya.
Pertarungan Wacana Reformasi
Desakan reformasi Polri semakin menguat pasca-Pemilu 2024. Publik menuntut perbaikan menyeluruh, mulai dari stigma keterlibatan polisi dalam politik hingga citra represif dalam penanganan aksi unjuk rasa. Di tengah tuntutan ini, keberhasilan Prabowo melakukan reformasi akan menjadi ujian soliditas kekuasaan Presiden dan hubungannya dengan institusi Polri.
Jika Prabowo mampu menuntaskan reformasi dan mengembalikan kepercayaan publik, ia akan memperkuat legitimasi pemerintahannya hingga 2029. Sebaliknya, kegagalan menggeser struktur lama atau mempertahankan Kapolri Listyo Sigit akan menimbulkan kesan bahwa pemerintah hanya retorika tanpa ketegasan.
Menanti Langkah Lanjutan
Situasi ini menjadi ajang uji kekuatan antara tim reformasi presiden dan tim internal Polri. Apakah kedua pihak akan bersinergi, atau justru berjalan sendiri-sendiri demi kepentingan yang berbeda, masih menjadi pertanyaan besar.
Dalam beberapa minggu ke depan, perkembangan kedua tim akan menentukan arah reformasi Polri: murni sebagai agenda pembenahan institusi, atau justru menjadi medan tarik-menarik kekuasaan antara Presiden, Kapolri, dan kekuatan politik di belakang keduanya.