Penulis: Arsih Zul Adha
Mahasiswa Departemen Hukum Tata Negara, UMRAH
Wacana lama mengenai pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD kembali mencuat ke ruang publik. Pertanyaan mendasarnya sederhana namun krusial: mengapa sistem yang pernah ditolak masyarakat luas dan dibatalkan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) justru kembali digulirkan?
Diskursus ini menguat setelah Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pandangannya dalam perayaan Hari Ulang Tahun Partai Golkar. Dalam sambutannya, Presiden menyinggung praktik pemilihan kepala daerah di sejumlah negara seperti Malaysia, Inggris, Australia, Kanada, dan India, yang dilakukan oleh parlemen daerah dengan dalih efisiensi anggaran. Pernyataan tersebut segera disambut positif oleh Partai Golkar dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Namun, menyamakan Indonesia dengan negara-negara tersebut merupakan kekeliruan mendasar. Pemilihan kepala daerah oleh parlemen di negara-negara itu bukan semata-mata didorong oleh pertimbangan efisiensi anggaran, melainkan merupakan konsekuensi logis dari sistem ketatanegaraan yang mereka anut sebagaimana diatur dalam konstitusi masing-masing.
Anatomi Struktur Negara
Jumlah dan jenis pemilu di suatu negara tidak ditentukan oleh selera politik penguasa, melainkan oleh struktur fundamental negara itu sendiri. Setidaknya terdapat lima pilar utama yang memengaruhinya: bentuk negara (monarki atau republik), susunan negara (kesatuan atau federasi), bentuk pemerintahan (parlementer atau presidensial), sistem perwakilan (unikameral atau bikameral), serta sistem desentralisasi.
Atas dasar struktur tersebut, Amerika Serikat menyelenggarakan enam jenis pemilu, Filipina sepuluh, dan Indonesia tujuh. Dengan demikian, persoalan utama bukan terletak pada banyaknya pemilu atau kotak suara, melainkan pada bagaimana mandat rakyat didistribusikan dan dilegitimasi dalam sistem ketatanegaraan.
Dalam sistem demokrasi parlementer seperti Inggris dan Malaysia, parlemen menjadi satu-satunya lembaga yang memperoleh mandat langsung dari rakyat. Perdana menteri dan kabinet lahir dari parlemen dan bertanggung jawab penuh kepada parlemen. Konsekuensinya, di tingkat daerah, DPRD menjadi sumber legitimasi utama bagi kepala daerah.
Sebaliknya, Indonesia—seperti halnya Amerika Serikat dan Filipina—menganut sistem demokrasi presidensial. Sistem ini mengenal prinsip twin legitimacy, di mana presiden dan parlemen sama-sama memperoleh mandat langsung dari rakyat dan berkedudukan sejajar. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, dan DPR tidak memiliki kewenangan menjatuhkan presiden sebagaimana mekanisme mosi tidak percaya dalam sistem parlementer.
Mandat Konstitusi dan Jebakan Biaya
Karena Indonesia secara konstitusional menganut sistem desentralisasi dalam kerangka presidensialisme, maka prinsip tersebut berlaku pula di tingkat daerah. Artinya, baik kepala daerah maupun anggota DPRD seharusnya memperoleh legitimasi langsung dari rakyat agar keduanya memiliki kedudukan politik yang setara.
Memang, Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hanya menyebutkan bahwa kepala daerah dipilih secara “demokratis”, tanpa secara eksplisit menyatakan “dipilih langsung”. Namun, sejarah pembentukannya menunjukkan bahwa frasa tersebut lahir pada masa transisi, ketika desain besar sistem pemilihan kepala daerah masih menjadi perdebatan sengit dalam Sidang MPR tahun 1999. Arah sistem pemerintahan baru benar-benar dipertegas melalui Amandemen Ketiga dan Keempat UUD 1945 pada 2001–2002 yang meneguhkan pilihan Indonesia pada sistem presidensial.
Sejak 2005, pilkada langsung telah menjadi denyut nadi demokrasi lokal. Bahkan, ketika pemerintah dan DPR berupaya mengembalikan pilkada ke DPRD melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014, gelombang penolakan publik memaksa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Perppu untuk membatalkannya. Mahkamah Konstitusi pun telah menegaskan bahwa pilkada merupakan bagian dari rezim pemilu.
Lalu, mengapa gagasan lama ini kembali dihidupkan? Jika alasan yang dikedepankan adalah tingginya biaya pilkada, maka diagnosisnya harus jujur dan tepat. Apakah yang dimaksud mahal itu adalah biaya logistik penyelenggaraan yang ditanggung APBD, atau justru “ongkos politik” nonformal yang dikeluarkan kandidat untuk membeli dukungan dan suara?
Menimpakan persoalan tersebut semata-mata pada sistem pilkada langsung adalah kekeliruan analisis. Yang perlu dibenahi bukanlah mekanisme demokratisnya, melainkan praktik politik transaksional yang mencederai demokrasi itu sendiri.