GLOBALKEPRI.COM, Jakarta - Pengamat menyebut ada ironi kebijakan pajak yang dilakukan pemerintah karena di satu sisi rakyat diperas, tapi di sisi lain pengemplang pajak diampuni.
Pakar Kebijakan Publik dan Ekonom UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat berharap pemerintah dan DPR tak tutup mata dengan penolakan dari masyarakat tersebut.
Jika pemerintah memang menyadari bahwa dampak negatif dari kenaikan PPN lebih besar daripada manfaat yang diharapkan, ia berharap mereka tak malu merevisi UU HPP .
"Pemerintah seharusnya menjadi pihak yang mengambil inisiatif revisi lebih dahulu karena kenaikan tarif PPN ini diatur dalam UU HPP yang merupakan bagian dari kebijakan fiskal. Namun kayaknya pemerintah bersikukuh untuk menaikan PPN," katanya.
Achmad mengatakan DPR juga dapat memanfaatkan hak inisiatifnya untuk mengajukan revisi UU HPP. DPR seharusnya bisa melihat bahwa kebijakan ini tidak sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat.
Achmad mengatakan inisiatif revisi harus diambil sebelum penerapan kenaikan PPN pada 1 Januari 2025. Jika tidak direvisi, kenaikan PPN menjadi 12 persen berisiko memperburuk daya beli masyarakat dan stabilitas ekonomi.
Namun, ia melihat memang penurunan atau penundaan kenaikan PPN tampaknya tidak dijadikan prioritas oleh DPR dibandingkan Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak atau tax amnesty yang masuk dalam daftar draf usulan Program Legislasi Nasional RUU Prioritas 2025.
Menurutnya, para wakil rakyat itu memang lebih berpihak kepada kepentingan para pengemplang pajak daripada masyarakat umum.
Pasalnya kebijkan tax amnesty sering dianggap memberikan keuntungan langsung bagi kelompok bisnis besar yang memiliki potensi besar untuk menyelesaikan kewajiban pajak mereka dengan biaya yang lebih rendah.
"Sebaliknya, kebijakan terkait PPN lebih berdampak langsung pada kehidupan masyarakat luas, terutama kelas menengah ke bawah, yang memiliki daya tawar politik lebih lemah dibandingkan kelompok elite ekonomi," katanya.
"Kesadaran akan dinamika ini menekankan pentingnya tekanan publik untuk memastikan revisi kenaikan PPN menjadi agenda yang diutamakan, sehingga kesejahteraan masyarakat tidak dikorbankan demi kepentingan segelintir pihak," sambungnya.