Cerita Akhir Pekan: Praktik Pariwisata Berkelanjutan Masih Tanda Tanya

Cerita Akhir Pekan: Praktik Pariwisata Berkelanjutan Masih Tanda Tanya
Wisata Desa Adat di Desa Penglipuran, Kabupaten Bangli, Bali menerapkan protokol kesehatan pencegahan Covid-19 bagi wisatawan yang berkunjung. (Liputan6.com/Ika Defianti)

GLOBAKEPRI.COM, Jakarta - Praktik pariwisata berkelanjutan masih menghadapi berbagai persoalan, salah satunya soal sampah. Hal itu dapat terlihat dari perjalanan Kristian Hansen, Youtuber asal Denmark, ke Danau Kaco di Taman Nasional Kerinci Seblat di Jambi.

"Satu hal yang mengejutkan saya adalah betapa banyak sampah yang ditinggalkan oleh pengunjung," Kristian mengungkapkan. Ia kemudian ikut memunguti sampah yang berada di kawasan Danau Kaco.

"Silakan setelah berenang, luangkan 10 menit untuk memunguti sampah. Jika kamu bawah sampah plastik jangan dipendam. Bawa sampah-sampah itu kembali," ucap Kristian.

Pernyataan Kristian seperti jadi pengingat kepada pengelola tempat pariwisata agar benar-benar memperhatikan lingkungan. Secar regulasi mungkin sudah cukup memadai peraturan yang ada, tapi secara praktik masih perlu ditingkatkan.

Untuk mengelola pariwisata secara berkelanjutan, maka perlu peran serta masyarakat sekitar. Karena warga setempat yang mempunyai sumber daya alam. Mereka yang paling tahu soal kerentanannya.

"Tapi kadang-kadang masyarakat sekitar juga yang merusak sumber daya alam yang ada. Oleh karena itu, perlu diberikan masukan agar terjadi peningkatan kesadaran," ujar Wakil Dekan Bidang Akademik dan Perencanaan Fakultas Pariwisata Universitas Udayana, Nyoman Sukma Arida, kepada Liputan6.com, Jumat malam, 13 Mei 2022.

Dengan adanya peningkatan kesadaran, maka mereka bisa mengontrol sumber daya alamnya agar tidak dirusakn oleh orang yang datang. Entah itu investor, turis, dan lainnya.

Secara pengembangan wacana, pariwisata berkelanjutan dimulai dari tingkat global. Seperti Konferensi Bumi di Rio de Janeiro pada 1992. Artinya, pembangunan harus digerakkan berdasarkan kaidah-kaidah lingkungan, karena ada keterancaman tentang perubahan iklim, dan sebagainya. Selain itu, ada juga soal Perjanjian Paris tentang karbon dan seterusnya.

"Pariwisata harus diratifikasi. Tapi kalau secara empirik dan jika kita amati di lapangan, kita sudah lebih dulu mempraktikan itu, seperti pengelolaan sumber daya alam berdasarkan hukum adat bisa lestari, seperti di Bali dan Jawa. Bagaimana kita diwariskan hidup dengan alam dan menggunakan alam secara baik," Nyoman mengungkapkan.
 

Pengelolaan Sampah
Nyoman mengatakan pengelolaan sampah juga jadi isu yang penting, terutama di hotel-hotel dan restoran. Ia mengatakan sempat melakukan studi bersama Yayasan Wisnu tenang lingkungan di Bali.

"Saya studi tentang berapa besar sampah yang dihasilkan oleh industri pariwisata, ternyata cukup besar dibandingkan dengan sampah yang dihasilkan oleh masyarakat. Kalau tidak ada model pengelolaan yang semakin baik, maka persoalan sampah makin berat ke depannya," kata Nyoman.

Oleh karena itu, harus dimulai penerapan secara ketat bagaimana pariwisata ini mengelola sampahnya dengan baik. Kalau di Bali sudah ada peraturan gubernur tentang pengelolaan sampah plastik.

"Saya lihat pemerintah daerah sudah mulai tegas soal sampah. Jadi, complain masyarakat di Bali, selain sampah ada juga soal kemacetan. Keluhan paling tinggi itu soal sampah kemudian soal kemacetan," ujar Nyoman lagi.

Bagi Nyoman, pariwisata tidak hanya untuk bersenang-senang, tapi juga sebagai media bisa untuk mengedukasi wisatawan. Kita harus care terhadap lingkungan.

"Karena lagi-lagi bumi ini sebenarnya cukup untuk semua orang, tapi tidak bisa untuk melayani keserakahan satu orang. Di pariwisata pun harus menyampaikan pesan-pesan seperti itu. Jadi, agar tidak selalu distigma bahwa pariwisata itu jadi sumber perusak lingkungan," tandas Nyoman.
 

Empat Pilar
Salah satu destinasi wisata yang mendapat sertifikat desa wisata berkelanjutan adalah Desa Penglipuran di Bangli, Bali. Desa tersebut mendapatkan sertifikat Desa Wisata Berkelanjutan pada 2017 dan 2020.

"Jadi, nanti pada 2023 Desa Penglipuran akan diverifikasi lagi," ucap I Nengah Moneng, yang pernah menjadi pengurusan Desa Wisata Penglipuran selama 10 tahun. Sebagai instrumennya, ada empat kategori yang menjadikan desa wisata mendapat sertifikat Desa Wisata Berkelanjutan.

"Manajemennya berkelanjutan. Artinya, mampu melestarikan budaya, lingkungan, dan mampu memberdayakan masyarakat, untuk meningkatkan kesejahteraannya secara adil dan merata. Jadi, ada empat pilar," tutur Moneng. "Setelah diaudit dan diverifikasi, akhirnya Penglipuran memperoleh sertifikat sebagai Desa Wisata Berkelanjutan pada 2017," Moneng menambahkan.

Untuk meraih itu, kata Moneng, yang penting komitmen terlebih dulu. Terutama bagaimana memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa Desa Wisata Penglipuran itu atau desa wisata pada umumnya, bagaimana warga sendiri dijadikan subjek.

"Sederhananya, dari, oleh, dan untuk masyarakat. Artinya, bukan untuk sekelompok orang atau untuk seseorang. Tentu itu sesuai dengan kinerja dan peran mereka masing-masing. Selain itu, kami juga harus melestarikan budaya yang kami miliki," kata Moneng yang juga Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kabupaten Bangli.

Budaya yang ada di Desa Wisata Penglipuran harus dikonservasi karena itu merupakan suatu kewajiban agar jangan sampai merusak budaya yang ada. Bahkan masyarakat harus memperkuat eksistensi kearifan lokal yang mereka miliki, baik budaya dan lingkungan.

"Soal lingkungan, kami memiliki 45 hektare, maka itu harus dilestarikan. Kami pernah mendapat Penghargaan Kalpataru, penghargaan Kampung Iklim. Ini jelas mengindikasikan Desa Wisata Penglipuran mampu untuk memelihara lingkungan," Moneng menuturkan.
 

Konsep Kebahagiaan di Penglipuran

Moneng menjelaskan, manajemennya bagaimana Desa Wisata Penglipuran berupaya untuk mencapai visi dan misi yang disiapkan. Visinya adalah berbasis masyarakat, berbudaya, berwawasan lingkungan, dan berdasarkan konsep dan filosofi Tripitakarana atau tiga sebab kebahagiaan.

"Itu dapat terwujud jika kita mampu menjaga dan mengimplementasikan keharmonisan manusia dengan Sang Pencipta, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan. Itulah tingkatannya," Moneng menjelaskan.

Di Desa Penglipuran, Moneng melanjutkan, masyarakatnya mencintai lingkungan. Di sana terdapat biopori, ada tanaman-tanaman yang bermanfaat, dan bagaimana mereka membuang sampah.

"Soal sampah kami bekerja sama dengan stakeholder, dalam hal ini bank sampah, masyarakat, dan pemerintah kabupaten, terutama Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan. Kami bekerja sama sebaik-baiknya agar sampah bisa dikelola secara baik," Moneng mengatakan.

Moneng menegaskan, dengan kerja keras bersama untuk mengelola sampah, maka pada 2016, Desa Wisata Penglipuran dinobatkan sebagai Desa Terbersih di Dunia. Itu diperoleh karena mereka selalu menjaga, mengedukasi, menyosialisasikan bagaimana mengelola sampah.

"Karena semakin banyak tamu, maka sampahnya pun semakin banyak dan jenis sampahnya bervariasi. Yang paling banyak itu sampah nonorganik, berupa sampah plastik. Kalau sampah organik bisa kami jadikan pupuk," Moneng menerangkan. Untuk sampah plastik mereka menjualnya ke bank sampah. Sisanya dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
(lpt6)

#Wisata

Index

Berita Lainnya

Index