GLOBALKEPRI.COM, BATAM – Gasing Belakang Padang, warisan budaya khas Batam yang pernah mengharumkan nama daerah hingga tingkat internasional, kini berada di persimpangan sejarah. Di tengah berbagai simbol dan monumen kebudayaan, tradisi ini justru ruang hidupnya makin menyempit di tanah asalnya sendiri.
Permainan rakyat yang dahulu mengisi ruang publik dengan sorak dan dentuman kini nyaris tak terdengar. Arena gasing yang pernah menjadi pusat aktivitas budaya warga Belakang Padang perlahan rusak dan ditinggalkan, tanpa kejelasan program pelestarian berkelanjutan.
Jejak Kejayaan yang Tertinggal
Nama H. Jumain, tokoh gasing Belakang Padang sekaligus Presiden Gasing ASEAN, pernah menjadi ikon kebanggaan. Keberadaan beliau menjadikan Belakang Padang dikenal sebagai pusat gasing tradisional di kawasan regional.
Namun setelah kepergiannya, kejayaan tersebut meredup. Minimnya pembinaan, regenerasi, dan kompetisi membuat gasing hanya tersisa dalam narasi nostalgia.
Wak Abas, Bertahan Saat Semua Pergi
Di tengah surutnya perhatian, Muhammad Abas (Wak Abas) memilih bertahan. Tanpa struktur organisasi ataupun dukungan pendanaan, ia tetap melestarikan gasing Belakang Padang dengan caranya sendiri.
“Kalau saya berhenti, gasing ini benar-benar habis,” ujar Wak Abas.
Ia bahkan rela menanggung biaya sendiri demi membawa gasing ke berbagai daerah luar Batam, bukan demi prestasi, melainkan untuk menjaga eksistensi tradisi.
Monumen Megah, Aktivitas Nyaris Nol
Meski Batam memiliki monumen gasing sebagai simbol budaya, pelaksanaan turnamen dan pembinaan nyaris tak pernah dilakukan. Dalam lima tahun terakhir, satu-satunya turnamen justru diselenggarakan oleh pihak kepolisian pada peringatan Hari Bhayangkara ke-79 tahun 2025.
Situasi ini memunculkan ironi pelestarian: simbol dijaga, tetapi praktik budaya dibiarkan memudar.
Gasing Raksasa dan Harapan yang Padam
Inovasi juga sempat dilakukan Wak Abas pada masa pandemi 2020 dengan membuat gasing raksasa sebagai atraksi wisata budaya. Bermodal dana pribadi sekitar Rp7 juta, proyek tersebut dikerjakan selama dua bulan.
Sayangnya, upaya itu tak mendapat respons. Kekecewaan mendalam membuat Wak Abas memutuskan mengakhiri proyek dengan membakar gasing raksasa tersebut.
Melawan Lupa, Menjaga Identitas
Kini di usia 50 tahun, Wak Abas tetap beraktivitas. Dari hasil bekerja sebagai buruh dan nelayan, ia membangun arena gasing sederhana di samping rumahnya, sekaligus menjadi ruang latihan bagi generasi muda.
Ia ingin membuktikan bahwa gasing Belakang Padang bukan sekadar monumen, melainkan warisan hidup yang layak diwariskan.
Budaya yang Bertahan Karena Keyakinan
Nama Wak Abas mungkin tak tercatat dalam agenda resmi kebudayaan. Namun keberlangsungan gasing Belakang Padang hari ini bergantung pada keteguhan dirinya.
Selama ada satu orang yang bertahan, warisan itu belum sepenuhnya hilang. Dan dari satu orang pula, sejarah budaya kerap menemukan jalannya kembali.
(Jonkavi)

