GLOBALKEPRI.COM, BATAM – Angin awal Desember berembus licik di perairan Belakang Padang. Ombak kecil menepuk badan boat pancung yang berangkat menuju Sekupang, mengantar sekelompok orang dengan satu tujuan: menghadiri Malam Sastra Sumatera Luka, sebuah pentas puisi donasi yang digelar dengan penuh empati dan kemarahan yang elegan.
Kegiatan yang berlangsung di Suratan Coffee & Restau, Sabtu malam (6/11/2025), ini diinisiasi oleh PWI Kepri, PWI Batam, dan Komunitas Seni Rumahitam. Acara tersebut tidak sekadar menjadi ruang pertemuan seniman dan wartawan, tetapi juga panggung perlawanan sunyi atas luka panjang Sumatera yang tak sepenuhnya lahir dari alam, melainkan dari kebijakan yang abai.
Di bawah cahaya seadanya dari lampu jalan, puisi-puisi dibacakan seperti suara hati yang sengaja tak dipoles. Tajam, getir, dan penuh sindiran. Tarmizi, Ketua Panitia sekaligus Presiden Komunitas Rumahitam, membuka malam sastra dengan pernyataan keras bahwa bencana tak bisa selalu disederhanakan sebagai takdir alam.
“Bencana adalah buah dari salah kelola. Dari pena perizinan yang terlalu mudah menari dan mata pengawasan yang terlampau sering terpejam,” tegasnya.
Ketua PWI Batam, Jonkavi, turut hadir dan menyampaikan refleksi singkat. Ia menyinggung perasaan wartawan yang biasanya terbiasa dengan tragedi, namun luluh saat musibah menyentuh rumah dan keluarga sahabatnya sendiri di Sumatera.
Sebagai bagian dari acara, Jonkavi membacakan puisi karya Tarmizi berjudul “Ini Bukan Puisi, Hanya Serupa Puisi”, sementara puisinya sendiri, “Batam Menandah Getir yang Sama”, dibacakan oleh Ketua PWI Kepri Saibansah Dardani dengan penghayatan yang mengubahnnya menjadi elegi sunyi.
Suasana semakin menyentuh saat Sanusi, Wakil Ketua Permasa Batam, tampil membaca puisi untuk pertama kalinya. Puisinya berjudul “Wahai Lelaki Pemanggul Karung Beras”, terinspirasi dari kisah pilu bencana di Aceh. Malam itu, perbedaan latar belakang runtuh—angka, rumus, dan logika teknis pun tunduk pada rasa kemanusiaan.
Seniman Rumahitam seperti Hening dan Taring menguatkan atmosfer dengan pembacaan puisi penuh penekanan emosi. Suara mereka menembus ruang, bahkan ketika pengeras suara tak lagi bersahabat. Dan seakan menuruti suasana, gerimis pun turun perlahan.
Menutup acara, Saibansah Dardani menyampaikan apresiasi sekaligus mengumumkan terkumpulnya donasi dari berbagai tokoh dan komunitas, di antaranya Putera Batubara, Susanna (Matahari Pagi Indonesia), Ketua SMSI Kepri Rinaldi Samjaya, serta Ketua IKWI Kepri Rohimah.
“Alhamdulillah, banyak orang baik menitipkan empati dan kepedulian malam ini,” ujarnya.
Tarmizi menutup dengan pernyataan sederhana namun bermakna, “Pembacaan puisi dengan lima orang saja sudah istimewa. Malam ini lebih dari 15 orang hadir—itu luar biasa.”
Saat acara usai dan para peserta bersalaman, angin kembali berisik di luar. Seolah mengingatkan bahwa luka Sumatera bukan sekadar cerita yang dibacakan, melainkan tanggung jawab bersama.
Sebab luka mereka adalah cermin wajah kita sendiri.
— Ketua PWI Batam

