Pelaku Kekerasan Seksual di Surabaya Didorong Agar Hukumannya Menggunakan UU TPKS

Pelaku Kekerasan Seksual di Surabaya Didorong Agar Hukumannya Menggunakan UU TPKS
Peristiwa kekerasan seksual yang menimpa anak kembali mencuat. Kali ini, peristiwa terjadi di Surabaya, Jawa Timur. Korban mengalami tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh 4 orang anggota keluarganya sendiri. (ist)

GLOBALKEPRI.COM.JAKARTA- Peristiwa kekerasan seksual yang menimpa anak kembali mencuat. Kali ini, peristiwa terjadi di Surabaya, Jawa Timur. Korban mengalami tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh 4 orang anggota keluarganya sendiri. Yaitu ayah kandung, kakak kandung, beserta 2 orang pamannya.

Hal tersebut, diungkapkan Kapolrestabes Surabaya, melalui Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya, AKBP Hendro Sukmono, dalam konferensi pers bersama awak media Senin (22/1).

AKBP Hendro Sukmono mengatakan, korban yang kini berusia 13 tahun mengalami kekerasan seksual sejak usia 9 tahun.

“Sejak tahun 2020, korban mengatakan mengalami pencabulan dari para pelaku, berawal dari kakak kandung. Yang mana saat ia berusia 16 tahun, dan para pelaku sudah menyetubuhi korban saat kelas 3 SD,” kata Hendro. seperti dilansir BBC Indonesia.  

Tentu saja, ungkap Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya, sehingga peristiwa ini membuat geram semua pihak. Sebab, katanya, keluarga dan orang terdekat korban yang seharusnya memberikan perlindungan, justru melakukan tindak kekerasan seksual.

"Ini tentu menambah catatan hitam dalam jumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Perkumpulan JalaStoria Indonesia turut prihatin dengan peristiwa yang dialami korban di Surabaya. Kami sangat prihatin dengan terjadinya kekerasan seksual yang dialami korban di Surabaya," kata AKBP Hendro Sukmono.

Sementara itu, Direktur Eksekutif JalaStoria, Dr. Ninik Rahayu mengungkapkan, korban yang seharusnya menikmati masa kecilnya yang indah. Malahan, justru menjadi korban kekerasan seksual oleh pihak keluarganya sendiri. Sehingga, peristiwa itu sangatlah memprihatinkan.

"Terlebih, pelaku utamanya ayah dan kakak kandungnya beserta kedua paman kandungnya,” tutur Direktur Eksekutif JalaStoria, Ninik Rahayu, dalam pernyataannya, Kamis (25/1).

Ninik pun mendorong agar aparat penegak hukum menangani kasus ini dengan menggunakan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). UU ini telah diundangkan pada Mei 2022 lalu dan telah berlaku sejak diundangkan. Dengan menggunakan UU TPKS tersebut, korban kekerasan seksual tidak hanya mendapatkan haknya, atas keadilan di mata hukum. Tetapi juga hak atas penanganan, perlindungan, hingga pemulihan.  

"Berdasarkan UU TPKS ini, korban kekerasan seksual mendapat hak perlindungan meliputi kerahasiaan identitas, beserta perlindungan dari tindakan merendahkan yang dilakukan oleh aparat yang menangani kasus. Sehingga, korban juga mendapatkan perlindungan atas kehilangan pekerjaan, mutasi, pendidikan, hingga akses politik. Pemenuhan hak korban merupakan kewajiban negara," papar Ninik, yang juga Ketua Dewan Pers Nasional ini.

Sehingga, lanjutnya, berbagai pihak termasuk instansi pemerintah yang terkait harus menyediakan layanan sesuai kebutuhan korban, agar hak-hak korban terpenuhi. Selain itu, Ninik juga meminta agar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) berkoordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan & Anak (UPTD PPA) Provinsi Jawa Timur, supaya hak korban untuk mendapat pendampingan dan pemulihan selama dan setelah proses hukum tertangani.

"Kemen-PPPA pun juga diharapkan, dapat mengkoordinasikan dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), agar hak restitusi korban dapat dipenuhi, sebagaimana mesti nya," tegas Ninik.

Kemudian, Ninik mengimbau agar masyarakat terus meningkatkan kewaspadaan sosial baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat umum. Lantaran, ungkapnya, kekerasan seksual tidak hanya dapat terjadi diruang publik atau dilakukan oleh orang orang tak dikenal.

"Melainkan nyata, terjadi di ruang privat, dan dilakukan oleh orang terdekat korban. Karena itu, saya mendorong agar masyarakat turut memberikan pelindungan bagi korban, dengan menerima keberadaan korban, maupun tidak menyalahkan korban, yang baru berani melapor setelah mengalami kekerasan seksual selama 4 tahun," sebut Direktur Eksekutif JalaStoria.

Sebaliknya, sebut Ninik, masyarakat perlu mengambil langkah konkret untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual terutama yang dilakukan oleh anggota keluarga. Misalnya, sebutnya, dengan menginformasikan kepada setiap rumah tangga di lingkungan, mengenai bentuk-bentuk kekerasan seksual dan menyerukan untuk melapor, dan apabila mengetahui atau mengalami kekerasan seksual.

"Dinamika kasus kekerasan seksual di Indonesia memang cukup tinggi, jika kita hitung rata-rata tiap tahunnya. Menurut data yang dihimpun melalui SIMFONI PPA Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA), pada tahun 2020, terdapat 20.499 kasus kekerasan," kata Ninik.

Di mana, jelasnya, ada sebanyak 8.210 kasus merupakan kekerasan seksual. Kemudian di tahun 2021, terhimpun sebanyak 25.210 kasus kekerasan, dimana 10.327 kasus merupakan kekerasan seksual. Sedangkan pada tahun 2022 tercatat 27.593 kasus kekerasan, dengan 11.682. Diantaranya itu, merupakan kekerasan seksual. Lantas pada tahun 2023, sampai dengan 7 Desember 2023, terdapat 25.618 kasus, dengan 11.293 di antaranya tercatat kasus kekerasan seksual.

"Fakta tersebut menunjukkan diperlukan intervensi berbagai pihak untuk mencegah, dan menangani kekerasan seksual. Tentang Perkumpulan JalaStoria Indonesia dan Perkumpulan JalaStoria Indonesia adalah, Perkumpulan Masyarakat Sipil yang bergerak dalam bidang kampanye, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan kajian, dan advokasi dalam rangka membangun masyarakat Indonesia yang inklusif dan berperan aktif di dalam penghapusan diskriminasi," kata kata Ninik.

JalaStoria Indonesia didirikan oleh Ninik Rahayu pada 2 Agustus 2018, secara swadaya dan dikukuhkan sebagai Perkumpulan yang berbadan hukum pada, Januari 2020. Pendirian JalaStoria Indonesia berangkat dari kepedulian dan keinginan kuat turut berkontribusi dalam penghapusan diskriminasi berbasis gender di Indonesia, dan meneguhkan kecintaan masyarakat terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan Pancasila.

JalaStoria Indonesia memiliki visi guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang inklusif dan aktif dalam upaya penghapusan diskriminasi. Maka, untuk mewujudkan visi tersebut, JalaStoria Indonesia memiliki 3 misi. Yaitu menyediakan informasi, beserta data yang berkontribusi terhadap upaya penghapusan kekerasan berbasis gender. Sehingga menjadi jembatan antara korban dan lembaga penyedia layanan, dan meningkatkan kapasitas pada masyarakat, dalam membangun budaya inklusif dan bebas diskriminasi.

Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi: Sekretariat JalaStoria Indonesia Jalan Petogogan II, Nomor 15 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Telepon: +62 822-5802-0816 Email: [email protected]. (r/nov)

Berita Lainnya

Index