5 Pasal RUU Perampasan Aset yang Dinilai Kontroversial dan Berpotensi Disalahgunakan

5 Pasal RUU Perampasan Aset yang Dinilai Kontroversial dan Berpotensi Disalahgunakan
Prof. Dr. Harris Arthur Hedar, SH, MH, (Guru Besar Universitas Negeri Makassar, Ketua Dewan Pembina Serikat Media Siber Indonesia (SMSI)

GLOBALKEPRI.COM. JAKARTA – Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset tengah menjadi sorotan publik. Meski digadang sebagai instrumen penting negara dalam memberantas korupsi dan kejahatan luar biasa, sejumlah pasalnya dinilai berpotensi multitafsir serta rawan disalahgunakan.

RUU ini sejatinya memiliki tujuan mulia, yakni memastikan aset hasil tindak pidana bisa dirampas negara. Namun, terdapat lima pasal yang dinilai bermasalah karena bisa menimbulkan ketidakadilan serta menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum.

1. Pasal 2

Negara bisa merampas aset tanpa menunggu putusan pidana. Hal ini dinilai menggeser asas praduga tak bersalah, sehingga pedagang kecil atau pengusaha dengan administrasi lemah bisa menjadi korban.

2. Pasal 3

Aset tetap bisa dirampas meski proses pidana terhadap seseorang masih berjalan. Kondisi ini menimbulkan dualisme hukum perdata dan pidana, sehingga masyarakat berisiko “dihukum dua kali”.

3. Pasal 5 Ayat (2) Huruf a

Perampasan bisa dilakukan bila harta dinilai tidak seimbang dengan penghasilan sah. Istilah “tidak seimbang” dianggap subjektif dan rawan menjerat petani atau masyarakat kecil yang mewarisi aset tanpa dokumen lengkap.

4. Pasal 6 Ayat (1)

Aset bernilai minimal Rp100 juta bisa dirampas. Batas nominal ini berisiko menjerat buruh atau pekerja yang berhasil membeli rumah sederhana, sementara pelaku kejahatan bisa menghindar dengan memecah asetnya di bawah nilai tersebut.

5. Pasal 7 Ayat (1)

Aset tetap dapat dirampas meski tersangka sudah meninggal, melarikan diri, atau dibebaskan. Kondisi ini berpotensi merugikan ahli waris dan pihak ketiga yang beritikad baik.

Beban Pembuktian Jadi Masalah

Selain itu, prosedur perampasan dalam RUU ini membalik beban pembuktian kepada rakyat. Artinya, masyarakat yang keberatan atas penyitaan aset harus membuktikan keabsahan hartanya. Hal ini dianggap berbahaya, karena rakyat kecil umumnya tidak memahami hukum dan minim dokumen administrasi.

Perlu Revisi dan Perlindungan Hukum

Pengamat menilai, RUU ini harus diperbaiki sebelum disahkan. Definisi pasal yang multitafsir, seperti istilah “tidak seimbang”, perlu dibuat objektif dengan ukuran jelas berdasarkan laporan pajak atau standar profesi. Selain itu, perlindungan ahli waris dan pihak ketiga beritikad baik harus dipastikan.

Proses perampasan aset pun harus transparan, diawasi publik, dan disertai bantuan hukum gratis bagi rakyat kecil. Yang terpenting, putusan pengadilan independen harus tetap menjadi syarat mutlak perampasan aset.

RUU ini ibarat pedang bermata dua. Jika tidak hati-hati, justru rakyat kecil bisa terkriminalisasi hanya karena kelemahan administrasi, sementara orang kaya tetap bisa melindungi aset dengan dukungan pengacara dan dokumen lengkap.

#Nasional

Index

Berita Lainnya

Index