Resolusi Gencatan Senjata di Gaza dari Majelis Umum PBB

Resolusi Gencatan Senjata di Gaza dari Majelis Umum PBB
Suasana rapat Majelis Umum PBB. (AFP/ANGELA WEISS)

GLOBALKEPRI.COM.NEW YORK - Majelis Umum PBB mengesahkan resolusi yang menuntut gencatan senjata dilakukan di Gaza, Palestina. Resolusi itu semakin mendesak posisi Israel dan sekutunya, Amerika Serikat (AS).

Dilansir AFP, Rabu (13/12/2023), hasil voting menunjukkan 153 dari total 193 negara mendukung resolusi gencatan senjata. Angka ini melebihi jumlah negara yang secara rutin mendukung resolusi yang mengecam Rusia atas invasinya ke Ukraina, yang sebelumnya didukung 140 negara atau lebih.

Sebanyak 10 suara lainnya, termasuk dari AS dan Israel, menolak resolusi tersebut. Sementara, 23 suara lainnya memilih abstain.

Voting yang digelar Majelis Umum PBB ini dilakukan setelah Dewan Keamanan PBB gagal mengadopsi gencatan senjata di Jalur Gaza gara-gara AS menggunakan hak veto. Meski disepakati mayoritas negara Anggota PBB, resolusi yang dihasilkan Majelis Umum PBB bersifat tidak mengikat.

Sebagai informasi, sidang istimewa darurat Majelis Umum PBB ini diselenggarakan berdasarkan Resolusi 377 (V) yang berjudul "Bersatu untuk Perdamaian". Dilansir Al Arabiya dan Al Jazeera, Presiden Majelis Umum PBB, Dennis Francis, dalam suratnya kepada para negara anggota mengumumkan sidang khusus digelar atas permintaan Mesir dan Mauritania.

Dalam mengusulkan sidang khusus kepada Presiden Majelis Umum PBB tersebut, Mesir dan Mauritania menggunakan Resolusi Majelis Umum PBB 377 (V). Resolusi ini memungkinkan badan PBB beranggotakan 193 negara itu untuk bertindak ketika Dewan Keamanan PBB gagal dalam 'menjalankan tanggung jawab utama untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional'.

Lantas seperti apa isi Resolusi Majelis Umum PBB 377 (V) berjudul 'Bersatu untuk Perdamaian' yang menjadi dasar sidang istimewa darurat Majelis Umum PBB untuk melakukan voting resolusi gencatan senjata di Gaza itu?

Isi Resolusi Majelis Umum PBB 377 A (V)
Menurut situs Legal UN, Resolusi 377 (V) berjudul "Bersatu untuk Perdamaian" diadopsi Majelis Umum PBB pada 3 November 1950 di New York. Pengesahan resolusi ini dilakukan sebagai tanggapan atas strategi Uni Republik Sosialis Soviet/USSR (Rusia) untuk memblokir setiap keputusan Dewan Keamanan PBB mengenai langkah-langkah yang akan diambil untuk melindungi Republik Korea dari agresi yang dilancarkan oleh pasukan militer Korea Utara.

Bagian terpenting dari Resolusi 377 (V) berjudul "Bersatu untuk Perdamaian" adalah bagian A yang menyatakan bahwa ketika Dewan Keamanan PBB, karena kurangnya kebulatan suara dari para anggota tetap, gagal melaksanakan tanggung jawab utamanya untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional, maka Majelis Umum PBB akan mengambil alih masalah tersebut.

Langkah-langkah prosedural dan substantif disarankan. Pertama-tama, jika Majelis Umum PBB tidak sedang bersidang, Majelis Umum PBB dapat bertemu dalam sesi khusus atau sidang istimewa darurat atas permintaan Dewan Keamanan PBB atau mayoritas anggotanya sendiri.

Kedua, sidang seperti itu harus diadakan dengan tujuan untuk membuat rekomendasi yang tepat untuk "langkah-langkah kolektif... termasuk penggunaan kekuatan bersenjata jika diperlukan". Sebagaimana juga diungkapkan dengan jelas dalam bahasa resolusi, Majelis Umum PBB tidak akan pernah bisa menjadi pengganti penuh Dewan Keamanan PBB dalam bidang ini.

Resolusi 377 A (V) dianggap memiliki potensi yang dapat menumbangkan keseimbangan kekuasaan yang telah diseimbangkan dengan baik di dalam PBB, sebuah potensi yang tidak diungkapkan dalam penjelasan terbaru tentang peran dan wewenang Majelis Umum PBB. Tetapi hal ini akan benar-benar digunakan untuk melawan Dewan Keamanan PBB, hanya jika terjadi ketidakpuasan umum terhadap kebijakan-kebijakan anggota tetap.

Resolusi itu lah yang digunakan negara-negara Arab untuk mendorong digelarnya sidang khusus Majelis Umum PBB demi membangun tekanan terhadap Israel. Draf resolusi Majelis Umum PBB yang disetujui pada Selasa (12/12) waktu setempat itu sebagian besar juga mereproduksi resolusi yang gagal diadopsi oleh Dewan Keamanan PBB pada Jumat (8/12) pekan lalu.

Resolusi Majelis Umum PBB itu menyatakan kekhawatiran atas "situasi kemanusiaan yang sangat buruk di Jalur Gaza" kemudian "menuntut gencatan senjata kemanusiaan segera", dan menyerukan perlindungan warga sipil, akses kemanusiaan dan pembebasan semua sandera "segera dan tanpa syarat".

Utusan Palestina untuk PBB Riyad Mansour menyebut hasil voting Majelis Umum PBB ini menandai "hari bersejarah terkait adanya pesan kuat yang dikirimkan dari Majelis Umum".

Sebelum voting digelar, Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield sempat menyerukan agar negara-negara mengamandemen draf resolusi dengan menyertakan kecaman terhadap Hamas. Namun, usulan itu ditolak.

Sementara menjelang voting digelar, perwakilan Israel untuk PBB Gilad Erdan mengecam apa yang disebutnya sebagai 'resolusi munafik'.

"Mereka tidak hanya gagal mengecam Hamas atas kejahatannya terhadap kemanusiaan -- mereka juga tidak menyebut nama Hamas sama sekali," kritiknya.

Australia, Kanada dan Selandia Baru Dukung Resolusi Gencatan Senjata
Australia, Kanada dan Selandia Baru merilis pernyataan bersama yang isinya menyatakan dukungan terhadap upaya internasional untuk gencatan senjata yang berkelanjutan di Jalur Gaza, Palestina. Ketiga negara itu mengingatkan Israel bahwa menghancurkan Hamas tidak seharusnya memicu penderitaan bagi seluruh warga Palestina.

Dilansir Reuters dan Al Arabiya, Rabu (13/12/2023), pernyataan bersama itu dirilis oleh Perdana Menteri (PM) ketiga negara tersebut pada Selasa (12/12) waktu setempat. Mereka menyampaikan kekhawatiran soal situasi kemanusiaan di Gaza.

"Kami khawatir dengan semakin berkurangnya ruang aman bagi warga sipil di Gaza. Dampak dari mengalahkan Hamas tidak berupa penderitaan terus-menerus bagi seluruh warga sipil Palestina," tegas ketiga negara itu dalam pernyataan bersama mereka.

Pernyataan tersebut juga menyatakan gencatan senjata tidak bisa dilakukan secara sepihak dan Hamas harus membebaskan semua sandera, serta berhenti menjadikan warga sipil Palestina sebagai tameng manusia. Australia, Kanada dan Selandia Baru juga memberikan suara dukungan terhadap resolusi Majelis Umum PBB yang menuntut gencatan senjata kemanusiaan segera di Jalur Gaza.

Sebanyak 10 negara, termasuk Amerika Serikat, Austria, Paraguay dan Israel, menolak resolusi tersebut. Sementara 23 negara lainnya -- termasuk Jerman, Belanda dan Inggris -- memilih abstain.

Perang meletus di Gaza usai Hamas melakukan serangan mendadak di wilayah Israel pada 7 Oktober. Serangan Hamas itu menyebabkan sekitar 1.200 orang tewas dan ratusan orang lain menjadi sandera.

Israel kemudian membalas dengan melancarkan serangan militer besar-besaran ke Gaza dengan dalih menghancurkan Hamas. Kementerian Kesehatan di Gaza, yang dikuasai Hamas, mengatakan lebih dari 50.000 orang terluka sejak serangan Israel dimulai.

Selain itu, lebih dari 18.400 orang telah tewas akibat serangan Israel. Mayoritas korban tewas ialah warga sipil, termasuk perempuan dan anak.

 

#Internasional

Index

Berita Lainnya

Index