Ini 5 Peryataan Sikap FSPMI Batam Terkait Permenaker Formula Penetapan UMK dan UMP 2023

Ini 5 Peryataan Sikap FSPMI Batam Terkait Permenaker Formula Penetapan UMK dan UMP 2023
Ketua KC FSPMI Kota Batam, Yapet Ramon. (Ist)

GLOBALKEPRI.COM. BATAM - Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) nomor 18 tahun 2022 tentang Formula Penetapan Upah Minimum Kota dan Provinsi (UMK dan UMP) tahun 2023, mendapat respon positif dari serikat pekerja/buruh, khusunya di Kota Batam.

Ketua Konsulat Cabang Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (KC-FSPMI) Kota Batam, Yapet Ramon, menyampaikan Permenaker tersebut merupakan pengganti Peraturan Pemerintah (PP) nomor 36 tahun 2021.

Menanggapi hal tersebut, pihaknya memberikan 5 catatan penting atau sebagi pernyataan sikap. "Ada 5 catatan terkait dengan terbitnya Permenaker 18/2022," kata Ramon, Senin (21/11/2022).

Pertama, FSPMI Kota Batam mengapresiasi dan berterimakasih kepada Presiden Joko Widodo dan Menaker Ida Fauziah atas tidak digunakannya PP 36/2021 sebagai dasar hukum untuk menetapkan upah minimum.

Dikatakan Ramon, Permenaker 18/2021 akan menjadi dasar hukum berikutnya, jangan hanya tahun ini saja atau setidaknya hingga keluar peraturan baru, yaitu Omnibus Law Klaster Ketenagakerjaan diputuskan lain.

Dalam hal ini, FSPMI berkeyakinan Presiden Jokowi akan mengeluarkan Perpu tentang Omnibus Law UU Cipta Kerja. "Kami mengapresiasi keluarnya dasar hukum penetapan upah minimum yang tidak menggunakan PP 36/2021," kata dia.

Kedua, Pemenaker 18/2022 harus diterjemahkan Dewan Pengupahan Provinsi maupun Kota sebagai dasar untuk merekomendasikan kenaikan upah minimum kepada Wali Kota maupun Gubernur. "Bahkan Gubernur sudah diundang oleh Menaker dan Mendagri untuk diberikan penjelasan tentang tata cara kenaikan upah minimum 2023 sesuai Permenaker ini. Sehingga sudah clear, PP 36/2021 sudah tidak bisa lagi digunakan sebagai acuan penetapan upah minimum," terang Yapet Ramon.

Ketiga, terhadap isi Permenaker 18/2022 tentang Penetapan Upah Minimum 2023, FSPMI Kota Batam menyayangkan rumus yang dipakai ngejelimet dan ruwet, tidak semestinya seperti itu.

Menurutnya, ada dua alternatif dari kaum buruh, seperti, kenaikan upah minimum sama dengan inflansi plus pertumbuhan ekonomi. Ini lazim berlaku di seluruh dunia.

Di mana inflansi dan pertumbuhan ekonomi yang digunakan adalah bulan Januari - Desember pada tahun berjalan. Sedangkan alternatif kedua, menghitung standar biaya hidup (living cost).

"Untuk Indonesia, standar biaya hidup tersebut dinamai kebutuhan hidup layak (KHL), yang terdiri dari 64 item KHL mulai dari harga daging, beras, baju, dan lainya. Hasil survei kebutuhan hidup layak inilah yang dirundingkan di Dewan Pengupahan untuk direkomendasikan kepada Wali Kota maupun Gubernur," sambungnya.

Keempat, di dalam isi Permenaker yang baru, setelah dihitung dengan rumus yang menjelimet dan ruwet, dikatakan dalam salah satu pasalnya, kenaikan upah minimum makasimal 10 persen. Kalimat tentang maksimal 10 persen ini menimbulkan kebingungan dan pengertian yang keliru tentang upah minimum.

"Di situ tertulis upah minimum, dan tidak ada kata maksimum," jelasnya.

Ramon menyebutkan, upah minimum di dalam konvensi ILO nomor 133 atau UU nomor 13 tahun 2003 adalah jaring pengaman (savety net) agar buruh tidak absolut miskin. Agar pengusaha tidak membayar upah buruh dengan murah dan seenak mereka.

Karena itu, negara harus melindungi masyarakat yang akan memasuki dunia kerja dengan menetapkan kebijakan upah minimum. "Upah minimum adalah savety net. Kenapa harus menjadi maksimum? Oleh karena itu, seharusnya tidak ada definisi maksimal 10 persen," ungkapnya.

Kelima, dengan dasar hukum Permenaker 18/2022, maka pihaknya akan minta Dewan Pengupahan berjuang, minimal kenaikan upah minimum adalah sesuai hasil survei KHL. Jika lebih dari itu, baginya adalah hasil dari perundingan.

"Perjuangan kami adalah bagaimana UMK di Batam naik sesuai hasil survei KHL Rp 5.076.000 dan UMP di Kepri provinsi naik minimal 13 persen," tegasnya.

Disinggung terkait sikap dengan tuntutan awal para kaum buruh sebesar 13 persen, menurutnya, Pemerintah Pusat, Gubernur, Wali Kota, dan yang paling menentukan adalah Gubernur karena yang akan menandatangani SK upah minimum. FSPMI berharap dapat dikabulkan adalah 13 persen dengan mengitung inflansi dan pertumbuhan ekonomi.

Namun demikian, kiranya Gunernur, Wali Kota, menggunakan yang paling rasional. Baik UMP Kepri dan UMK Batam naiknya minimal 10 persen. Nilai ini didapat dari inflansi tahun berjalan sebesar 6,5 persen dan pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun nanti diperkirakan mencapai 4 hingga 5 persen.

"Kita ambil yang paling rendah, katakan 4 persen. Jadi 4 persen ditambah inflansi 6,5 persen, nilainya 10,5 persen. Maka kenaikan minimal 10 persen masuk akal, dan itu diperbolehkan oleh Permenaker," pungkasnya.

#Kepri

Index

Berita Lainnya

Index