Kisah Presiden Soeharto Menolak Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan dari UI

Kisah Presiden Soeharto Menolak Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan dari UI
Soeharto. ©buku gramedia/hj siti hardiyanti rukmana

GLOBAKEPRI.COM, - Saat akan dianugerahi gelar doktor honoris causa, Presiden Soeharto secara halus menolaknya. Alasannya, waktu penganugerahan itu belum tepat.

Penulis: Hendi Jo 
 

Hari ini mantan Presiden Republik Indonesia (RI) Megawati Soekarnoputri dianugerahi gelar profesor kehormatan oleh Seoul Institute of the Arts (SIA), Korea Selatan. Penganugerahan itu merupakan gelar ke-11 yang ditabalkan oleh sebuah institusi pendidikan kepada ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tersebut.

Megawati bukan satu-satunya presiden RI yang pernah mendapat gelar akademik kehormatan. Seluruh eks presiden RI pernah mendapatkannya. Termasuk Presiden Soeharto. Usul penganugerahan itu kali pertama muncul dari Mayor Jenderal (Purn) Prof. Dr. Moestopo pada saat memperingati Hari Pahlawan yang ke-40.
Dia mengusulkan kepada Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran dan Universitas Gajah Mada, untuk memberikan gelar doktor kehormatan (Doctor Honoris Causa) kepada Presiden Soeharto.
Mengapa Soeharto Pantas?
Mantan pemimpin Pertempuran Surabaya itu menyatakan, Soeharto sangat pantas mendapat gelar tersebut. Di mata Moestopo, Soeharto memiliki jasa-jasa besar di tingkat nasional maupun internasional.

Secara nasional, kata Moestopo, Soeharto telah mampu mewujudkan pembangunan di bidang pertanian dan industri. Sedangkan di tingkat internasional, Soeharto merupakan inisiator penanggulangan bencana kelaparan di berbagai belahan dunia lewat Forum Roma yang berlangsung pada 14 November 1985.

"Sebagai seorang profesor, (saya) hanya merasa berdosa kalau tidak mengusulkan gelar doktor kepada Pak Harto. Pada peringatan hari bersejarah ini saya mendapat inspirasi untuk mengusulkan gelar pemberian gelar doktor itu, saya segera (akan) menulis surat kepada tiga universitas itu," ungkap Moestopo dalam koran Berita Yudha, 11 November 1985.
Menurut pendiri Universitas Moestopo Beragama itu, nilai-nilai kepahlawanan suatu bangsa khususnya bagi Indonesia, tidak harus ditujukan kepada kaum pemanggul senjata saja. Di tengah giatnya pembangunan di berbagai bidang, adalah suatu keniscayaan jika gelar pahlawan pun dianugerahkan kepada orang-orang Indonesia yang memiliki jasa besar dalam bidang pembangunan negara.

"Jika dalam Perang Kemerdekaan dahulu ada semboyan 'berjuang sampai titik darah penghabisan' maka dalam masa pembangunan sekarang ini semboyannya adalah hingga titik otak dan keringat penghabisan", ujar tokoh yang sempat mengklaim sebagai Menteri Pertahanan ad interim dalam peristiwa Pertempuran Surabaya tersebut.
Soeharto Menolak
Sejatinya sepuluh tahun sebelum Moestopo memunculkan ide itu, Universitas Indonesia (UI) sudah memprakarsainya. Pada 30 Juli 1975, serombongan pejabat UI pimpinan Rektor Prof. Mahar Mardjono telah mendatangi Presiden Soeharto di Binagraha.

Selain melaporkan sukses pembangunan kampus UI, kerja bakti sosial mahasiswa UI dan membicarakan peran UI dalam pembangunan negara, Prof. Mahar juga menyampaikan rencana UI untuk memberikan gelar doktor kehormatan kepada Presiden Soeharto dan mantan Wakil Presiden Mochamad Hatta.
Di luar perkiraan khalayak, Soeharto justru menolak secara halus permintaan para pejabat UI tersebut. Menurutnya, dia belum belum waktunya menerima penghargaan akademik tersebut.

"Pak Harto meminta agar sebaiknya UI melaksanakan pemberian penghargaan itu pada waktu yang tepat di kemudian hari," demikian menurut buku Jejak Langkah Pak Harto 27 Maret 1973-23 Maret 1978 yang disunting oleh Nazarudin Sjamsuddin dan G. Dwipayana. (mrdk)
 

#Peristiwa

Index

Berita Lainnya

Index