Gerilya Bela RI di Lereng Semeru, Eks Tentara Jepang Momok Menakutkan Bagi Belanda

Gerilya Bela RI di Lereng Semeru, Eks Tentara Jepang Momok Menakutkan Bagi Belanda
Shigeru Ono salah satu anggota PGI

GLOBAKEPRI.COM, Sekelompok mantan pasukan Jepang membelot ke kubu Republik dan berjuang di hutan-hutan kaki Gunung Semeru. Menjadi momok menakutkan buat tentara Belanda.

Penulis: Hendi Jo
Kurang lebih 30 tahun lalu, orang-orang di Desa Dampit mengenal lelaki sepuh itu sebagai Soekardi. Perawakannya kekar walaupun tidak terlalu tinggi. Sepasang matanya yang sipit menyorot tajam.

Tak ada orang di desa yang masuk dalam wilayah Kabupaten Malang itu paham asal usul Soekardi secara pasti kecuali dia adalah mantan pejuang yang dulu pernah berperang melawan tentara Belanda.
Soekardi tidak memiliki pekerjaan tetap. Namun sekali-kali dia terlihat menjadi sejenis pesuruh di Lembaga Permasyarakatan Dampit. Lama tinggal di Dampit, tiba-tiba lelaki tua itu hilang dari peredaran. Tak ada satu pun warga Dampit yang tahu hingga kini di mana Soekardi berada.

Menurut Rahmat Shigeru Ono salah seorang zanryu nihon hei (serdadu Jepang yang tetap tinggal dan memilih berjuang untuk Indonesia) Soekardi adalah Nagamoto Sugiyama, zanryu nihon hei yang pernah bergerilya bersama pejuang-pejuang Indonesia di hutan-hutan sekitar Malang Selatan dan Blitar pada 1948-1949.
Buronan Berbahaya
Nama Soekardi dalam sumber-sumber Sekutu tercatat sebagai eks anggota Kempeitai (Polisi Militer Angkatan Darat Jepang) dan berstatus penjahat perang. Salah satunya disebutkan Fred L. Borch dalam Military Trials of War Criminals in the Netherland East Indies 1946-1949. Dituliskan, Nagamoto merupakan buronan berbahaya yang berhasil kabur dari Penjara Cipinang, Jakarta pada 1946.

"Memang benar, setelah kabur dari Cipinang, Nagamoto dicari-cari pasukan Inggris dan Belanda," ujar Shigeru.
Shigeru dan Nagamoto adalah anggota Pasukan Gerilya Istimewa (PGI). Itu adalah nama unit khusus beranggotakan 28 eks tentara Jepang yang ada di bawah komando Brigade Surachmad. Awalnya PGI dipimpin oleh Mayor Arif (Tomegoro Yoshizumi). Namun karena sakit-sakitan (kemudian meninggal pada 10 Agustus 1948), Mayor Arief diganti oleh Mayor Abdul Rachman (Tatsuo Ichiki).

Pergantian itu diprotes oleh sebagian anggota PGI pimpinan Hasan (Toshio Tanaka). Mereka menyebut Abdul Rachman tak layak memimpin PGI karena dia bukan seorang militer tulen. Di ketentaraan Jepang, Abdul Rachman hanyalah seorang penerjemah.

"Soal ini menjadi sebab utama pecahnya PGI di kemudian hari, sehingga menyebabkan 10 kawan kami mengundurkan diri dan lebih senang bergabung dengan TNI di Jawa Tengah" ujar Shigeru Ono.
Pasukan Elit Penghancur Belanda
Kendati tinggal 18 orang, PGI tetap menjadi pasukan andalan TNI di wilayah gerilya sekitar Gunung Semeru. Jumlah yang sedikit membuat mereka bisa bergerak secara leluasa dan menerapkan disiplin keras. Tak aneh jika kemudian PGI ditakuti oleh para serdadu Belanda.
Salah satu penyerangan PGI yang sukses terjadi saat bersama pasukan dari Brigade XIII menghancurkan markas tentara Belanda di Pajaran pada 31 Agustus 1948. Akibatnya 20 prajurit Belanda tewas dan puluhan senjata mereka ikut hancur.

Sukses di Pajaran, mereka ulangi pula di Poncokusumo pada 18 September 1948. Lewat suatu serangan fajar, PGI kembali berhasil menghabisi tanpa ampun posisi pasukan Belanda.

"Penyerangan di Poncokusumo juga berhasil secara gemilang: serdadu musuh semua tewas, sedang di pihak kami tak ada satu pun jatuh korban. Bisa dikatakan kami terus menuai kemenangan sejak itu" kata Shigeru.

Awal 1949, PGI dilebur dalam sebuah kesatuan baru bernama Pasoekan Oentoeng Soerapati 18 (POS 18). Para zanryu nihon hei yang tergabung di dalamnya tetap meneruskan perjuangan hingga Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949. Shigeru Ono (Rahmat), Toshio Tanaka (Hasan), Nagamoto Sugiyama (Soekardi), Syoji Yamaguchi (Husin), Goro Yamano (Abdul Majid) dan prajurit-prajurit eks PGI lainnya memutuskan untuk menjadi warga negara Indonesia. (mrdk)
 

#Politik

Index

Berita Lainnya

Index